Entri yang Diunggulkan

Selamat Datang di Hasan Basri Al Markazy

Selama Datang di Hasan Basri Al Markazy kami ucapkan selamat datang dan selamat bergabung di Blog kami ini, perkenalkan nama saya ada...

Rabu, 04 Oktober 2023

MATA KULIAH MASA`IL FIQHIYYAH

MATA KULIAH 

MASA`IL FIQHIYYAH

Universitas Islam KH. Ruhiat Cipasung ( UNIK Cipasung )

Dosen : Hasan Basri, M.Pd

A. Pendahuluan.

Pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, umat Islam apabila menghadapi suatu persoalan langsung menanyakan kepada Raulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Rasul-lah yang langsung memberikan jawaban, terkadang dengan al-Qur’an yang turun berkenaan dengan masalah tersebut (sebagai jawaban), dan terkadang dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ketiga bentuknya yakni secara qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), dan taqriri (ketetapan). Adakalanya pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda masalah itu atau menunggu hingga turunnya wahyu. Adapun bentuk jawab rasul, pada hakikatnya tidak terlepas dari petunjuk Ilahi, sesuai firman Allah swt :

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى{3}إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى{4}

Artinya : “dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.[3]Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)[4]. ” (QS. An-Najm : 3-4)

Namun, semuanya berubah setelah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia dan mengakibatkan terputusnya wahyu, sehingga para sahabat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang memer­lukan penjelasan hukumnya, menempuh jalan sebagai berikut :

1.      Mencari ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an.

2.      Mencari ketentuan hukumnya dalam Sunnah Rasul Allah.

3.      Memusyawarahkan masalah itu, di mana Khalifah mengundang para tokoh Shahabat untuk dimintai pendapatnya tentang hukum masalah yang dihadapinya. Bila mereka mendapatkan kata sepakat, maka Khalifah melaksanakan hasil musyawarah tersebut. Apabila tidak mendapat kata sepakat, maka Khalifah mengambil alih dan menentu­kan yang kiranya dipandang lebih maslahat.

Dengan demikian, sumber hukum pada masa Shahabat adalah sebagai   berikut :

1.      Al-Wahyu (al-Qur’an)

2.      Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3.      Al-Ijtihad dan al-Ra’yu.

Al-Ra’yu menurut pengertian Shahabat meliputi pengertian : Dilalah al-Nash, al-Qiyas, al-Istihsan, Saad al-Dzara’i, al-Mashlahah al­-Mursalah dan lain-lain. Dasar inilah yang kemudian diikuti dan dijadikan dasar oleh para Imam Mujtahidin dalam mengistinbath hukum. Sistematika di atas terus berjalan sampai kepada para Imam Mujtahidin yang terkenal, di mana mereka dalam menetapkan suatu hukum pada dasarnya tidak keluar dari prinsip-prinsip tersebut. Hal ini disebabkan, sistematika tersebut sesuai dengan petunjuk Allah :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّ بُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ{النحل : 44-43}

Artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan

Dalam ayat lain juga disebutkan ;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُـؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً{النساء : 59}

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Juga dari petunjuk Rasululllah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (seperti terlihat dalam Hadits dari Mu’adz bin Jabal mengenai ijtihad), dan Atsar Shahabat :

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ  عُمَرَ  عَنْ شُعْبَةَ  عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنِ  الْحَارِثِ  بْنِ عَمْرو  ابْنِ  أَخِي   الْمُغِيرَةِ  بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ  مِنْ  أَهْلِ حِمْصَ  مِنْ أَصْحَابِ  مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ  أَنَّ  رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ  أَقْضِي  بِكِتَابِ  اللهِ  قَالَ  فَإِنْ  لَمْ  تَجِدْ فِي كِتَابِ  اللهِ  قَالَ  فَبِسُنَّةِ  رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ لاَ فِي كِتَابِ اللهِ  قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَ لاَ آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولُ اللهِ{رواه أبوا داود}

Artinya : “diceritakan kepada kami oleh Hafs bin Umar dari Syu’bah dari Abi ‘Aun dari al-Harits bin Amru bin Akhi al-Mughirah bin Syu’bah dari Anas ahli Himso dari keluarga Mu’adz, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengutus Mu’adz ke Yaman, kemudian (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata : bagaimana kamu memutuskan suatu perkara apabila dihadapkan kepadamu suatu permasalahan?, (Mu’adz) berkata : aku memutuskan sesuai dengan apa yang ada didalam Al-Qur’an, (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata : bila tidak ada di dalam Al-Qur’an?, (Mu’adz) berkata : maka dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata : bila tidak ada di dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak juga dalam Al-Qur’an?, (Mu’adz) berkata : maka aku berijtihad dengan akalku, (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata : segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan yang di utus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[1]

Pada masa Mujtahidin, sumber-sumber hukum Islam bertambah sesuai perkembangan dan kebutuhan zaman, yang penambahan ini pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang baru (bid’ah), melainkan sebagai pengembangan dan penjabaran secara lebih konkrit dari sumber hukum ketiga, yaitu al-Ijtihad wa al-Ra’yu yang telah diratifikasi oleh al-Qur’an, al-Sunnah dan Atsar Shahabat di atas. Sumber-sumber hukum yang bersifat ijtihadi ini dijadikan dasar dan pedoman oleh para Imam Mujtahidin dan madzhabnya masing-masing. Dengan demikian jelaslah, bahwa sumber-sumber hukum bagi semua madzhab ada yang sama dan ada yang berbeda. Yang sama bahwa semua madzhab berdasarkan pada al-Qur’an, Sunnah Rasul, al-Qiyas dan Ijma’. Sebab itu, keempat dalil tersebut oleh Ahli Ushul Fiqh disebut dalil yang muttafaq ‘alaih, dengan mengenyampingkan adanya khilaf dari Imam Ahmad bin Hanbal yang tidak mengakui Ijma’ sebagai sumber hukum dengan alasan ketidak mungkinan terjadinya.

Semua kembali berubah setelah para imam madzhab telah meninggalkan dunia (wafat). Di mana umat Islam terus menemui permalasahan-permasalahan baru yang dibutuhkan jawaban hukumnya. Oleh karenanya, demi mempelajari cara untuk mencari jawaban-jawaban atas permasalahan baru ini, di perguruan tinggi Islam, khsusnya konsetrasi syari’ah diadakan mata kuliah al-masa`il al-fiqhiyyah.

Al-mas`ail al-fiqhiyyah ( المسائل الفقهية ) merupakan rangkaian dari dua lafazh,  yakni mas`ail dan fiqhiyyah. Hubungan dari kedua lafadz ini, dalam nahwu disebut hubungan shifah dengan maushuf, atau na’at dengan man’ut. Lafadz masail ( مسائل ) adalah bentuk plural (jamak) dari mas`alatun ( مسئلة ) yang bermakna masalah atau problem. Kata dasarnya adalah sa`ala ( سئل ) dan bermakna “bertanya”. Artinya, masa`il adalah masalah-masalah baru yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan untuk dicari jawabannya. Adapaun lafadz al-fiqhiyyah adalah berasal dari lafadz al-fiqhu yang artinya al-fahmu yang dirangkai dengan ( ياء النسبة ) yang huruf ( ياء ) berfungsi membangsakan. Jadi al-masa`il al-fiqhiyah menurut pengertian bahasa adalah, “permasalahan-permasalahan baru yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan dicari jawabannya.” Berdasarkan definisi secara kebahasaan di atas, maka secara istilah, al-masa`il al-fiqhiyah adalah problem-problem hukum Islam baru al-waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat jawaban hukumnya karena secara eksplisit permasalahan tersebut tidak tertuang di dalam sumber-sumber hukum Islam.

B. Isi Kajian al-Masa`il al-Fiqhiyyah.

Isi kajian al-masa`il al-fiqhiyyah di dalam buku ini menyangkut kajian di dalam kesyari’ahan.

1.      Kompetensi Mata Kuliah.

Mahasiswa memahami dengan baik tentang problema-problema yang timbul dalam Fiqh Islam memberikan kemampuan untuk membahas dan memecahkan masalah-masalah Fiqh yang aktual dan memasyarakatkannya dengan pendekatan yang luas, yang tidak hanya terfokus pada teks-teks fiqh klasik akan tetapi juga pada pendekatan-pendekatan rasional lainnya, seperti pendekatan sosiologis, politis, dll.

2.      Deskripsi Mata Kuliah.

Mata Kuliah ini meliputi kajian tentang, MK masail fiqhiyyah; Kementerian Agama sebagai rumah ijtihad kolektif di Indonesia; infotainment; 

Permasalahan Haji dan Umroh.

1. Pelaksanaan Ibadah Haji masa Covid

2. Pelaksanaan Ibadah Umroh masa Covid

3. Badal Haji oleh orang yang belum berhaji

4. Badal Umroh oleh orang yang belum berhaji

5. Apakah Umrah Gugurkan Kewajiban Haji?

6. Dana Talang Umroh

7. Arisan Umroh  




[1] Imam Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Bandung: Dahlan, t.th.), Jilid III, h. 303

Tidak ada komentar:

Posting Komentar