Badal haji adalah ibadah haji yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal atau tidak mampu berangkat sendiri karena faktor usia yang sudah lanjut dan kesehatan yang tidak lagi memungkinkan. Perihal bolehnya melakukan badal haji, banyak hadis Nabi SAW yang menjelaskannya.
Meskipun badal haji tersebut
diperbolehkan, terkait orang yang akan menjadi badal atau melaksanakan ibadah
haji atas nama orang lain ada syarat tertentu. Salah satunya yakni soal pernah
melaksanakan ibadah haji atau belum.
Pendapat Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i menyatakan orang yang
menjadi badal atau menggantikan haji orang lain, termasuk orang tuanya yang
telah wafat disyaratkan yang sudah haji untuk dirinya sendiri. Bila ia belum
berhaji, maka tidak cukup atau tidak boleh untuk menggantikan haji orang lain.
Hal ini didasarkan pada hadis Nabi
SAW:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا، أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ:
لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ: مَنْ شُبْرُمَةُ؟ قَالَ: أَخٌ أَوْ قَرِيبٌ
لِيْ. قَالَ: حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ،
ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَة )رواه أبو داود والدار قطني والبيهقي وغيرهم باسانيد
صحيحة (
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra,
sungguh Nabi SAW mendengar seorang lelaki membaca talbiyah: ‘Laibaika dari
Syubrumah.’ Beliau pun meresponnya dengan bertanya: ‘Siapa Syubrumah?’
Laki-laki itu menjawab: ‘Saudara atau kerabatku.’ Nabi tanya lagi: ‘Apakah kamu
sudah haji untuk dirimu sendiri?’ Orang itu menjawab: ‘Belum.’ Nabi pun
bersabda: ‘Hajilah untuk dirimu sendiri, kemudian baru haji untuk Syubrumah.”
(HR Abu Dawud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan selainnya dengan sanad shahih).
Dari hadis inilah ulama mazhab
Syafi’i menyatakan bahwa orang yang belum haji tidak boleh mengganti orang haji
orang lain. Bila ia tetap melakukannya, maka ibadah haji yang dilakukan menjadi
haji bagi dirinya. Pendapat seperti ini juga menjadi pendapat Ibnu Abbas RA,
al-Auza’i, Imam Ahmad dan Ishaq. (An-Nawawi, Al-Majmû’ Syahrul Muhaddzab, juz
VII, halaman 117-118).
Pandangan tersebut berangkat dari
redaksi hadis tersebut di mana Nabi SAW menanyakan kepada lelaki tersebut
perihal apakah telah melaksanakan haji untuk dirinya. Ketika lelaki tersebut
mengatakan belum pernah berhaji, maka Nabi SAW menyarankan agar melaksanakan
ibadah haji untuk dirinya sendiri dahulu baru kemudian berhaji atas nama
Syubrumah yang merupakan kerabatnya.
Dari sini dapat dipahami bahwa
seandainya tidak ada hukum yang berbeda bagi orang yang belum berhaji dan telah
berhaji dalam menggantikan haji orang lain, niscaya Nabi SAW tidak perlu
menanyakannya.
Hal ini sebagaimana pandangan
Alauddin al-Kasani dalam kitab Badaaius Shana’i fi Tartibis Syara i’ Juz II
halaman 213 bahwa orang tidak boleh menghajikan orang lain sebelum menghajikan
dirinya sendiri. Selain itu haji bagi dirinya sendiri hukumnya wajib baginya,
sementara haji orang lain tidak wajib baginya, sehingga orang tidak boleh
meninggalkan kewajiban dirinya sendiri sebab melakukan sesuatu yang tidak wajib
baginya.
Pendapat Mazhab Hanafi
Sementara menurut mazhab Hanafi,
orang yang belum haji boleh dan dianggap cukup untuk menjadi badal atau
mengganti haji orang lain yang berhalangan.
Ulama mazhab Hanafi berpedoman pada
keumuman hadits berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ اَلْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم. فَجَاءَتِ اِمْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ، فَجَعَلَ اَلْفَضْلُ
يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَجَعَلَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه
وسلم - يَصْرِفُ وَجْهَ اَلْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ اَلْآخَرِ. فَقَالَتْ: يَا
رَسُولَ اَللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اَللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي اَلْحَجِّ
أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لَا يَثْبُتُ عَلَى اَلرَّاحِلَةِ،
أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ اَلْوَدَاعِ. مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia
berkata: ‘Al-Fadhl bin Abbas menjadi pengawal Rasulullah saw. Lalu datang
perempuan dari Khats’am (salah satu kabilah dari Yaman). Sontak al-Fadlu
memandang perempuan itu dan perempuan itu pun memandangnya. Seketika itu pula
Nabi saw memalingkan wajah al-Fadhl sisi lain (agar tidak melihatnya). Lalu
perempuan itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban haji dari Allah
kepada hamba-hambanya telah menjadi kewajiban bagi ayahku saat ia tua renta dan
tidak mampu berkendara. Apakah aku boleh berhaji sebagai ganti darinya?’
Rasulullah saw menjawab: ‘Ya.’ Peristiwa itu terjadi dalam haji Wada’.
(Muttafaq ‘alaih, dan redaksi ini dari al-Bukhari).
Menurut mazhab Hanafi, hadis ini
menjadi dasar bahwa orang yang belum haji boleh menghajikan orang lain. Sebab
dalam hadits ini Nabi jelas-jelas membolehkan perempuan Yaman itu untuk
menghajikan orang tuanya yang sudah tua renta dan tidak mampu berkendara.
Saat itu Nabi SAW pun tidak
menanyakan apakah perempuan itu sudah haji untuk dirinya sendiri atau belum.
Andaikan antara orang yang belum haji dan yang sudah haji hukumnya berbeda, SAW
akan menelisik dan menanyakan lebih lanjut, apakah perempuan itu sudah haji
atau belum. Sesuai redaksi hadis tersebut Nabi SAW tidak menanyakannya.
Berangkat dari pemahaman ini, mazhab
Hanafi menyatakan bila orang melakukan haji dan diniatkan orang lain, meskipun
dirinya belum melaksanakan ibadah haji maka haji itu terlaksana untuk orang
lain tersebut.
Meskipun ada dua pendapat yang
bersebrangan perihal boleh atau tidaknya badal haji dilakukan oleh orang yang
belum berhaji, maka dalam hal ini kita dapat mengambil keputusan yang
bijaksana, yakni tidak perlu menyalahkan salah satunya.
Meskipun demikian, untuk
kemaslahatan dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebaiknya memilih
orang yang telah berhaji untuk menjadi badal haji.
Hal ini sebagaimana pendapat KH
Sahal Mahfudz dalam buku ‘Dialog Problematika Umat’, yakni orang yang sah
ditunjuk menjadi wakil atau badal adalah orang yang memiliki kompetensi untuk
mengerjakan haji, yaitu mukallaf (muslim, baligh, dan berakal), dan mampu
melakukannya.
Tidak dibenarkan mewakilkan kepada
orang yang belum pernah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri. Hendaknya
dicarikan orang yang dapat dipercaya untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar