hukum orang islam yang sudah mampu untuk melaksanakn ibadah haji, memilik banyak harta, mempunyai badan sehat wal afiat namun orang tersebut tidak mendaftar dan melaksanakan ibadah haji
Menunaikan
ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi Muslim
yang mampu. Namun, bagaimana jika seorang Muslim mampu tetapi memilih
menundanya?
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang penundaan pendaftaran haji
bagi yang sudah mampu pada Musyawarah Nasional (Munas) X pada 25 hingga 26
November 2020. Dalam fatwa itu terdapat beberapa ketentuan hukum.
Pertama,
ibadah haji merupakan kewajiban ‘ala al-tarakhi bagi orang Muslim yang sudah
istitha’ah. Namun demikian, disunnahkan baginya untuk menyegerakan ibadah haji.
Kedua,
kewajiban haji bagi orang yang mampu (istitha’ah) menjadi wajib ‘ala al-faur
jika sudah berusia 60 tahun ke atas, khawatir berkurang atau habisnya biaya
pelaksanaan haji atau qadla’ atas haji yang batal.
“Ketiga
mendaftar haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada poin kedua hukumnya
wajib,” ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh melalui keterangan
tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis malam (26/11).
Kemudian,
menunda-nunda pendaftaran haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada poin
kedua hukumnya haram. Orang yang sudah istitha’ah, tetapi tidak melaksanakan
haji sampai wafat wajib dibadalhajikan.
Ketentuan
keenam, orang yang sudah istitha’ah dan telah mendaftar haji, tetapi wafat
sebelum melaksanakan haji, sudah mendapatkan pahala haji dan wajib
dibadalhajikan.
Hendaklah
seorang Muslim yang telah memiliki kemampuan
berhaji untuk menunaikannya. Baik itu mampu dalam biaya haji, mampu
dalam kesehatannya menunaikan ibadah haji, serta masih menyisakan harta untuk
keluarga yang ditinggalkan.
Dalam sebuah
hadits dijelaskan bagaimana ancaman terhadap orang yang tidak memiliki hambatan
berhaji namun ia tidak berhaji. Ini dapat ditemukan dalam kitab at Targib wat
Tarhib
قَالَ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَمْ
تَحْبِسْهُ حَاجَةٌ ظَاهِرَةٌ أَوْمَرَضٌ حَابِسٌ أَوْسُلْطَانٌ جَائِرٌ
وَلَمْ يَحُجَّ فَلْيَمُتْ اِنْ شَاءَ
يَهُوْدِيًّاوَاِنْ شَاءَ نَصْرَانِيًّا.
Rasulullah
Saw bersabda: Barangsiapa tidak menghalanginya hajat yang nyata atau sakit yang
bisa mencegah atau karena pemimpin yang zalim lalu ia tidak berhaji maka
silakan ia mati dalam keadaan Yahudi atau jika Nasrani. (HR Baihaqi)
Yang
dimaksud pemimpin yang zalim itu bila pemerintah itu melarang haji bukan karena
kedaruratan. Seperti pada masa kolonial Belanda, umat Muslim di Nusantara
dilarang berhaji oleh Belanda sebagai siasat politik untuk memutus hubungan
dengan negara-negara lain di Timur Tengah. Maka pelarangan Belanda terhadap
pelaksanaan ibadah haji termasuk perbuatan zalim.
Maka dari
hadits di atas dapat dipahami bahwa orang yang memiliki kesempatan berhaji, dan
tidak ada sedikit pun hambatan baginya berhaji, tetapi justru ia memilih tidak
menunaikan haji, maka ia diperkenankan memilih mati dalan keadaan Yahudi atau
Nasrani.
Sementara
pada redaksi hadits yang berbeda dijelaskan:
قَالَ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :يَقُوْلُ عَزَّوَجَلَّ اِنَّ عَبْدًاصَحَّحْتُ لَهُ
جِسْمَهُ وَوَسَّعَتُ عَلَيْهِ فِى الْمَعِيْشَةِ فَمَضَى عَلَيْهِ خَمْسَةُ
أَعْوَامٍ لَا يَفِدُاِلَىَّ لَمَحْرُوْمٌ.
Rasulullah
Saw bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman : Sungguh seorang hamba itu Aku
sehatkan jasmaninya dan Aku lapangkan rezekinya. Kemudian melampaui lima tahun
tidak haji atau umroh kepadaKu, pastilah itu orang yang terhalang rahmat. (HR
Ibnu Hibban).
Maka bagi
seorang hamba yang sudah diberikan kelapangan rezeki dan sehat secara fisiknya,
tunaikanlah haji. Sebab itu adala ibadah yang akan mempunyai kedudukan tinggi
di sisi Allah Subahanahu wa Ta’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar